Beberapa Adab Memuliakan Tamu Menurut Imam al-Ghazali
Tamu adalah orang yang harus dimuliakan dalam agama. Sebagian dari keimanan seseorang dapat dilihat dari cara ia memuliakan tamunya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya menyebutkan sebagian dari adab dalam memuliakan tamu adalah tidak segera memindahkan makanan hidangan. Mungkin saja tamu ingin menjadikan sebagian menu yang tersedia sebagai makanan yang terakhir, atau makanan penutup. Ketika tamu sudah selesai menyantap baru kemudian dipindahkan makanan tersebut. Tidak mesti harus menunggu tamu pulang.
Dikisahkan suatu ketika seorang sufi dihidangkan
makanan anak domba, sedangkan pemilik rumah adalah orang yang bakhil (pelit).
Maka sufi tersebut mulai menyantap hidangan anak domba tersebut, serta pemilik
rumah merasa tidak tenang perasaannya, dia berkata kepada anaknya supaya diambil
makanan sajian itu dan berikan kepada anak yang ada di dalam rumah. Setelah diambil
sufi tersebut mengejar makanan yang sedang dibawa. Ketika itu pemilik rumah berkata
“Engkau hendak ke mana?” Maka sufi berkata, “Aku mau makan anak domba dengan
anak-anak kecil yang ada di dalam”. Maka, malulah pemilik rumah yang pelit
tadi.
Pemilik rumah juga tidak baik mencuci tangan lebih
awal ketika ia selesai makan makanan dan bahkan alangkah baiknya pemilik rumah terakhir
makan. Pemilik rumah harus mempersilahkan tamu terlebih dahulu. Sebagian orang
dermawan sebelum menghidang makanan kepada tamu, dia terlebih dahulu
menyebutkan menu makanannya lalu kemudian dia meninggalkan tempat tersebut. Dan
bila para tamu hampir selesai, maka tuan rumah berlutut dan kemudian dia makan.
Dan berkata kepada tamu, “Dengan nama Allah, tolonglah aku untuk menghabiskan
makanan. Dan semoga Allah berikan keberkahan kepadaku dan kalian”. Para salaf
senang dengan adab yang di atas.
Adab lainnya dalam melayani tamu adalah dengan
menyediakan makanan yang cukup kepada tamu. Mengurangi makanan kepada tamu
adalah tindakan merendahkan tamu. Dan memberikan makanan yang lebih juga sikap
yang tidak baik dan termasuk perbuatan yang boros. Boleh menyediakan makanan
lebih bila dengan makanan yang lebih itu pemilik rumah berniat mengambil berkah
dari yang lebih dari manakan yang ia sediakan kepada tamu. Ibrahim bin Adham pernah menyediakan makanan
yang banyak. Berkata Sufyan berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak khawatir
bahwa ini adalah pemborosan? Bukankah ini melampaui batas.” Ini bukan sikap
berbangga-bangga. Tetapi ini adalah sikap tabaruk. Yang dianggap boros adalah
dalam masalah pakaian dan perabotan rumah.
Berkata Ibnu Mas’ud, "Kami dilarang memenuhi
undangan orang yang tujuannya bermegah-megahan." Sebagian ulama dari sahabat
menggagap ini perbuatan yang makruh. Dalam jamuan Rasulullah tidak pernah diangkat
makanan yang lebih karena saat sesuai kadar kebutuhan.
Selanjutnya, sebagian dari adab memuliakan tamu adalah pemilik rumah harus memisahkan makanan yang dibutuhkan untuk diri sendiri dan keluarga. Jangan sampai kemudian pemilik rumah mengawasi makanan yang mereka sediakan. Ini akan membuat mereka mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepada tamu. (Redaksi)