Pentingnya Rasa Cinta dalam Menuntut Ilmu
majalahumdah.com | Ada seorang santri yang berasal dari Indonesia. Ia menuntut ilmu di Rubath Tarim, Yaman pada masa Habib Abdullah bin al-Syatiry. Setelah melewati 4 tahun masa ta’lim, kang santri itu mohon izin pada Habib untuk pulang ke tanah airnya, karena alasannya susah sekali untuk menghafal pelajaran. Namun, Habib Abdullah ingin menguji terlebih dahulu kemampuannya dalam menuntut ilmu.
Kemudian Habib Abdullah masuk ke kamar dan mengambil surat-surat yang ditujukan untuk si santri. Pada masa itu, surat-surat yang dikirim dari Indonesia tidak langsung diberikan kepada santri yang bersangkutan, kecuali mereka telah menuntut ilmu selama 15 tahun. Habib Abdullah menyerahkan seluruh surat kepada santri itu kecuali satu surat.
Setelah diterima, Ia pun membaca surat-surat itu hingga selesai. Satu surat yang masih di tangan Habib, kemudian diserahkan padanya.
“Ini surat siapa?”, tanya Habib sambil menunjukkan satu surat itu ke arahnya.
“Oh, itu surat dari ibu saya, Habib!”, jawab kang santri dengan penuh kegembiraan.
“Bacalah”.
Santri itu menerima surat dengan perasaan senang, lalu dibacanya hingga selesai. Saat membaca, kadang ia tersenyum sendiri, sesekali diam membisu, dan sesekali ia nampak bersedih.
“Sudah kamu baca?”, tanya Habib.
“Sudah, Habib”, jawabnya sambil mengangguk pelan.
“Berapa kali?”, tanya Habib kembali.
“Satu kali, Habib”.
“Tutup surat itu! Apa kata ibumu dalam surat tu?”.
“Ibu saya mengatakan bahwa saya disuruh nyantri yang benar. Bapak sudah membeli mobil baru untuk keluarga. Adik saya sudah diterima bekerja di suatu perusahaan dan lain sebagainya”. Kang santri itu berhasil menceritakan keseluruhan isi suratnya yang panjang lebar dengan begitu lancar dan lengkap. Tidak ada yang terlewatkan.
“Yhah, Baca sekali, kok hafal? Katanya susah menghafal, tapi baru sekali baca surat ini, kok langsung bisa hafal serta menyampaikannya?”, tanya Habib dengan pandangan yang serius.
Santri itu bingung tidak bisa menjawab. Ia menganggap selama ini dirinya adalah seorang yang bodoh dan tidak memiliki harapan. Ia menganggap telah berusaha sekuat tenaga dalam mempelajari ilmu agama, namun merasa gagal. Tetapi ketika membaca surat dari ibunya sekali saja, ia langsung paham dan hafal.
Akhirnya, Habib Abdullah menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi pada dirinya. Beliau mengatakan:
لأنك قرأت رسالة أمك بالفرح, فلو قرأت رسالة نبيك بالفرح لحفظت بالسرعة
“Sebab ketika kamu membaca surat dari ibumu itu dengan perasaan gembira dan penuh rasa cinta. Coba jika kamu membaca syari’at Nabimu dengan perasaan gembila dan penuh rasa cinta, sebagaimana perasaan ketika kamu membaca surat dari ibumu, maka dengan sekali baca langsung bisa hafal”.
Saudaraku, barangkali masih banyak diantara kita yang mengalami kisah yang serupa dengan kang santri di atas. Jawabannya adalah rasa cinta. Banyak diantara kita yang belum menyertakan perasaan itu saat membaca dan mempelajari sesuatu, sehingga kita merasakan diri kita terlalu bodoh dan tidak memiliki harapan menuju tangga kesuksesan.
Kita merasa bodoh dengan pelajaran, namun puluhan lagu-lagu cinta kita menghafalnya, walau tidak pernah diatur waktu khusus untuk menghafalnya. Ini adalah bukti nyata, saudaraku.
Saudaraku, jika ada masalah dengan pelajaran dan ilmu yang dipelajari, janganlah begitu mudah menyalahkan kemampuan otak, barangkali kita belum mampu menghadirdan rasa cinta pada ilmu yang sedang kita pelajari.