Jabir bin Hayyan “The Muslim Alchemist”
majalahumdah.com Dijuluki Bapak Alkimia Islam dan salah satu pelopor dalam bidang ilmu kimia berkat alkimia eksperimental yang dilakukannya, Jabir hidup pada 738 – 813 dan dikenal sebagai “Geber” di Barat. Ia mengangkat alkimia ke tingkat yang setara dengan bidang pengetahuan penting lainnya seperti astronomi, kedokteran, dan matematika.
Ilmu kimia berkaitan erat dengan komposisi zat (gas, cair atau padat) dan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya dalam kondisi-kondisi tertentu. Bersama fisika dan biologi, ilmu kimia merupakan salah satu dari tiga ilmu alam utama. Dan seperti halnya dalam fisika dan biologi, kontribusi umat Islam terhadap perkembangan ilmu kimia begitu mendalam dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Faktanya, kata “kimia” berasal dari akar kata berbahasa Arab “al-kimia”, yang juga diterjemahkan sebagai “alkimia”. Kata “al-kimiya” mungkin berasal dari bahasa Mesir “khem” yang artinya “hitam”. Orang-orang Yunani dan Mesir kuno menganggap ilmu kimia sebagai “seni khem”. Karena itulah, mereka berusaha menemukan misteri-misteri seputar praktik “seni hitam” ini, terutama perubahan dari logam dasar menjadi emas murni atau perak, yang kemungkinan karena alasan ekonomi.
Di antara praktisi alkimia Muslim pertama adalah Khalid bin Yazid, cucu Khalifah Muawiyah, dan Ja’far Ash-Shiddiq, seorang ulama terkemuka Madinah yang mendapat pengetahuan ini dari sumber-sumber keagamaan dan Syria. Namun, pemahaman mereka tentang kimia hanya terbatas pada aspek-aspek peleburan, penyulingan, dan pembuatan zat-zat kimia tertentu untuk menghasilkan produk-produk yang diinginkan, tanpa harus mengabaikan dimensi spiritualitas mereka.
Para praktisi alkimia atau ahli kimia Muslim awal justru menganggap alkimia – dalam bentuk tertingginya – sebagai sebuah ilmu rohani sehingga mampu memurnikan dan membebaskan jiwa manusia tanpa merusak dimensi fisik dari zat-zat kimia tersebut. keadaan ini terus berlanjut sampai Jabir bin Hayyan – yang lebih dikenal di Barat Latin sebagai “Geber” – muncul untuk membuka jalan bagi kemunculan alkimia sebagai sebuah cabang ilmu yang independen.
Jabir bin Hayyan bin Abdullah Al-Kufi Al-Sufi lahir di Tus, provinsi Khurasan, Persia. Berasal dari suku Azd di selatan Arab, nenek moyangnya pindah ke Kufah pada tahun-tahun pertama ekspansi Islam. Ayahnya seorang apoteker medis ternama yang membantu Bani Abbasiyah dalam kampanye politik mereka melawan rival mereka, Bani Umayyah. Mungkin akibat hubungan politiknya dengan Bani Abbasiyah, dia terpaksa meninggalkan Kufah dan pindah ke Khurasan. Di sana, dia terus mendukung pemberontakan Bani Abbasiyah terhadap Bani Umayyah.
Jabir masih anak-anak manakala ayahnya ditangkap dan dihukum mati oleh pengadilan Umayyah karena mendukung kegiatan-kegiatan subversif politik. Setelah ayahnya dieksekusi, Jabir dan keluarganya segera jatuh miskin. Ibunya tidak punya alternatif lain, selain mengirimkan putranya ke Arabia untuk meneruskan pendidikannya di sana. Jabir mempelajari bahasa Arab, sastra, dan ilmu-ilmu Islam tradisional. Lalu dia menerima pendidikan lanjutan dalam bidang keilmuwan dan spiritualias Islam, serta aspek-aspek alkimia di bawah bimbingan Ja’far Ash-Shiddiq – salah satu otoritas paling masyur di dunia Islam dalam bidang keilmuwan dan spiritual Islam. Setelah itu, dia mempelajari astrologi, kosmologi, dan aspek-aspek lebih lanjut dalam bidang obat-obatan dan alkimia.
Diberkati kecerdasan yang tajam dan pikiran yang selalu ingin tahu, Jabir dikagumi oleh semua gurunya karena pengabdian dan dedikasinya terhadap studi-studinya. Sebagai seorang praktisi sufi, Jabir juga terbiasa melakukan pengasingan spiritual. Namun, sufismenya bukan yang menjauhi dunia, demi menemukan waktu untuk dia mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu pengetahuan eksperimental.
Sebagai pengikut tarekat (atau ordo) Sufi yang didirikan oleh Abu Hasyim dari Kufah, Jabir berhasil mengombinasikan spiritualisme dengan aktivisme fisik dan intelektual. Ini terbilang spiritualisme yang sangat langka. Karena mengejar pengetahuan spiritualitas sekaligus duniawi dianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional pada waktu itu.
Yang jelas, setelah menyelesaikan pendidikan formalnya dalam ilmu-ilmu empiris, Jabir menjadi seorang praktisi medis yang sukses dan reputasinya segera tersebar luas. Ketika Harun Al-Rasyid, Khalifah Abbasiyah yang tersohor, mendengar tentang Jabir, dia berinisiatif merekrutnya untuk ditempatkan di pusat penelitiannya di Baghdad.
Terkenal karena mempromosikan pembelajaran dan pendidikan tinggi, para elite penguasa Abbasiyah mendorong para cendekiawan, filsuf, dan ilmuwan Muslim untuk datang ke Baghdad dan mengejar penelitian mereka dalam semua cabang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Jabir menjadi terkait dengan Bani Abbasiyah, terutama dengan Keluarga Barmakiyah yang waktu itu bertugas sebagai kepala penasehat khalifah. Berkat kemurahan hati Bani Abbasiyah, situasi ekonominya yang menjepit mulai membaik dan memungkinkannya mengejar penelitian dalam ilmu-ilmu eksperimental, khususnya alkimia.
Meski terus menetap di Kufah, Jabir secara rutin bepergian ke Baghdad untuk bergabung bersama para cendekiawan dan ilmuwan Muslim terkemuka saat itu. Sebagai seorang ilmuwan, dia tertarik pada ilmu pengetahuan teoritis dan praktis. Bahkan karena kecintaannya pada studi dan pengetahuan, dia menjadi benar-benar akrab dengan beragam kajian, termasuk teologi (kalam), tasawuf, astrologi, kosmologi, kedokteran, dan musik. Namun, dia memberikan sumbangan abadinya dalam bidang alkimia dan kimia.
Selain mempelajari alkimia Mesir dan Yunani kuno (sebagaimana diuraikan oleh Hermes, Phytagoras, Socrates, Zosimus, dan Bolos (Democritus), Jabir juga memperoleh pengetahuan dan pemahaman mendalam mengenai ilmu-ilmu Islam tradisional. Ini memungkinkannya untuk mengembangkan sebuah pendekatan segar dalam mempelajari alkimia. Sebelum masanya, alkimia lebih dianggap sebagai pengetahuan spiritual ketimbang eksperimental. Namun, setelah Jabir, alkimia menjadi pengetahuan eksperimental, terlepas dari akar-akar spiritualnya.
Meskipun Jabir merupakan pelopor alkimia eksperimental, dia tidak lupa menyoroti dimensi spiritual atau esotis dari alkimia. Dengan melakukan itu, dia mencoba mempertahankan kestabila antara alkimia yang murni spiritual dan alkimia yang sepenuhnya eksperimental.
Yang jelas, dukungannya terhadap alkimia eksperimental mewakili putusnya hubungan dengan masa lalu; sebuah langkah positif ke depan demi kemajuan ilmu kimia sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Jika bukan karena keberanian Jabir dan metodologi ilmiah eksperimentalnya yang inovatif, perkembangan ilmu kimia sebagai sebuah disiplin ilmu yang terpisah akan tertunda setidaknya beberapa abad lagi.
“ 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Oleh Muhammad Mojlum Khan”