Biografi Syeikh Mutawali As-Sya’rawi
Biografi Syeikh Mutawali As-Sya’rawi
Siapa itu Al-Mutawali
Nama lengkap beliau ialah syeikh As-Sya’rawi Al-Husaini, beliau di lahirkan pada tahun 16 April 1911 – 17 Juni 1998 M di Domain ( desa ) Daqaddus, distrik mith Ghamr, provinsi Daqahlia, republik Arab Mesir. Terlahir dari sebuah keluarga sederhana dan terhormat, ayahnya seorang petani. Sekitar pada usia 11 tahun, syeikh sudah mulai menghafal Al-Quran pada gurunya Syeikh Abdul Majid Pasya, sekolah formal pertamanya di Al-Azhar di daerah Zagoziq pada tahun 1923 dan melanjutkan jenjang menengahnya pada sekolah yang sama, di madrasah inilah kemampuan beliau terlihat serta kemantapan dalam bidang sastra dan syair arab dengan sangat baik kemampuannya ini mendapat tempat tersendiri di antara para sahabat karibnya sehingga Mutawali sangat pouler di antara rekan-rekannya yang lain
Grand Syeikh Al-Azhar
Pada usia remaja menginjak masa pendidikan tinggi, sang ayah mengharapkannya berkuliah di universitas Al-Azhar di Kairo, harapan besar sang ayah ini mengalahkan keinginannya untuk tetap bersama keluarganya di kampung, justru ia meminta untuk dibelikan sejumlah kitab sastra, tafsir, Al-Quran, hadist, dan keagamaan lainnya, permintaan ini untuk memenuhi rasa haus keilmuannya, sekaligus agenda tersembunyi untuk mengundur niat sang ayah menyekolahkannya di Al-Azhar dengan akal-akalannya ini bahkan, semua permintaannya Mutawali di penuhi jawaban ayahnya ini sekaligus tantangan bagi dirinya untuk ia terus belajar di Al-Azhar, akhirnya pada 1937 dia resmi terdaftar sebagai mahasiswa perguruan islam tertua di dunia ini, ia memilih belajar fakultas bahasa arab. Syeikh Mutawali tamat dari Al-Azhar pada tahun 1940 M dengan gelar S1, lalu beliau dapat izin pada tahun 1943 M setelah selesai pendidikan master of art ditugasi ngajar di Thanba, Zaqozia, dan juga di iskandariya. Syeikh Mutawali pindah ke Arab Saudi pada tahun 1950 M lalu menjadi dosen di universitas Ummul Qura, beberapa tahun kemudian sepulangnya dari arab beliau diangkat sebagai direktur grand syeikh Al-Azhar
Rahasia kesuksesan Mutawali
Sukses adalah idaman setiap orang, kata sukses mudah diucapkan, tapi sulit diraih, sukses dengan penuh pengorbanan pengabdian dan ketulusan inilah yang tidak mudah dilakukan oleh banyak orang, pernah suatu ketika sepupu perempuan syeikh Mutawali ayahnya wafat pada masa kecil mereka, meninggalkan ia beserta 1 saudara laki-laki dan 1 perempuan, mereka diasuh di rumah syeikh Mutawali karena masih kecil.
Suatu hari pada bulan Ramadhan, Al-Mutawali masuk ke rumah sepulang dari kuttab (sekolah baca tulis Al-Quran), dia melihat sepupunya yang paling besar itu sedangkan gelas ada di mulutnya pada siang hari di bulan Ramadhan, demi menjaga adab Mutawali pun tak ingin sepupunya tau bahwa dia melihatnya (minum), rasa benci padanya membuat Mutawali tak ingin lagi bicara padanya, situasi pun mulai aneh karena tidak pernah sekalipun berdialog, ibu syeikh Mutawali bertanya “ ada apa dengan kamu?” biasanya kamu berkata kepada dia tolong ambilkan ini itu ke sepupumu atau apalah ! apa yang terjadi ? syeikh Mutawali pun mengisyarah untuk enggan menjawab, syeikh Mutawali khawatir akan berujung pada ibu akan melabrak sepupunya, jangan ibu marahinya kata syeikh Mutawali. Karena dia ketauan minum di siang bulan puasa Ramadhan. Setelah mendengar ibu syeikh Mutawali tertawa terpingkal-pingkal, lalu ibu berkata “ lah terus kenapa dengan hal ini, anak perempuan itu ketika dewasa aka nada 1 masa dimana dia justru tak boleh beribadah, kamu itu belajar fiqh sudah sampai mana sih ?” lalu syeikh menjawab “ baru sampai sekian “, nanti kamu akan sampai pada pembahasan itu dalam fiqh. Syeikh Mutawali sangat menyesal ats apa yang diperbuat ketika itu pun beliau membaca ayat Al-Quran
ولا تقف ما ليس لك به علم (الاسرء : 36)
Sebuah cerita menarik.
Dikisahkan disebuah majelis mu’tabar ulama banyak dihadiri oleh para cendikiawan islam dari berbagai penjuru dunia, lalu singkat cerita setelah diskusi selesai maka tibalah sesi tanya jawab. Syeikh Mutawali pun memilki satu peluang untuk melontarkan I pertanyaan berupa “ ketika nabi di mandikan, dimanakah air bekas mandian jasad nabi yang mulia?”, dengan spontan semua ulama yang berada dalam forum itu tampak tidak satupun dari mereka bisa menjawab pertanyaan syeikh Mutawali, maka timbul satu solusi dari seorang panitia ( beliau juga ulama ) meminta jawabannya di tunda sampai besok pagi, kebetulan acara digelar 2 hari. Kala itu panitiapun mencari jawaban dari berbagai kitab, satu per satu beliau buka dan baca, kian letih dan dengan kewalahan dia pun nyaris tertidur, dalam lelapan tidurnya, beliau diberi karunia oleh Allah SWT berjumpa dengan nabi, dengan lantang beliau bertanya “ ya Rasulullah, dimanakah air mandian jasad engkau yang mulia? “, sejak itu Rasulullah tidak menjawab pertanyaan pertanyaan panitia tersebut, justru Rasulullah mengisyarah kepada seseorang anak kecil yang memegang pelita (lampu senter), sejatinya ia berada disamping Rasulullah ketika Rasulullah yang mengajar kepadanya, dia pun sontak menjawab “ nah jadi, air lebih bekas mandian nabi diserap matahari menjadi awan mendung, turun hujan dimana saja yang dibangun masjid, tanah tersebut bekas dari air mandian jasab nabi yang mulia. Kepercayaan diri pun muncul pada sosok panitia itu karena jawaban yang didapatinya. Esoknya terik matahari pun membara agenda puncak pun digelar, kobaran serdadu jawaban tak sabaran lagi untuk di ucap, sembari menunggu-nunggu pertanyaan, tak lama kemudian, syeikh Mutawali pun mendeklarasikan jawaban “ berkenaan dengan pertanyaan kemarin, dimanakah air lebih mandian nabi?”, syeikh Mutawali pun menurut
“ Air lebih mandian nabi diserap oleh matahari jadi awan lalu turun hujan dimana saja yang dibangun masjid, itu kesan dari air derusan mandian jasad nabi yang mulia “, panitia pun heran dan menanyakan bagaimana engkau tahu jawaban dalam mimpi saya, lalu syeikh Mutawali membalas bertanya “ dalam mimpi kamu?”, bukan Rasulullah yang memberi jawaban tapi budak kecil yang memegang pelita yang berada di samping Rasulullah, “bagaimana engkau tahu?”, tanya panitia dengan keheranan, lalu syeikh Mutawali pun menjawab “ sayalah budak kecil yang memegang pelita tersebut!”. MASYA ALLAH
Dari cerita inilah syeikh Mutawali digelar sebagai “ Shahibul Qindil “, satu kisah yang menjadi fenomena alam, Sang Pelita Nabi.
Oleh : Rachmad Musyawir