Secercah Senyuman Di Sudut Negeri
majalahumdah.com Di bangunkan oleh suara azan yang menyapa, di selimuti oleh rasa dingin yang menerpa, diriku mencoba untuk membuka mata melawan rasa kantuk yang tak tertara, hari ini mungkin agak sedikit berbeda dari sebelumnya, tanpa harus ada suara haris yang membangunkan, para santri sudah terjaga dari buaian tidurnya untuk bersiap-siap kembali ke kampung tercinta, ya hari ini merupakan hari libur panjang para santri karena mereka sudah berada di pintu Ramadhan.
Tampak senyuman indah terlukis di setiap wajah para mereka, mengingat sebentar lagi akan bertemu sanak saudara dan orang tua, terlihat jejeran kenderaan tersusun rapi guna menjemput anaknya yang sudah lama menahan rasa rindu kepada orang tua, mungkin sebentar lagi mereka akan sampai di kediamannya guna menyebarkan ilmu yang telah mereka pelajari.
Namun perasaan itu tidak terhadap diriku, mungkin hari ini aku akan melakukan hal yang bahkan diriku sendiri tak tau apakah sanggup atau tidak, sebulan sebelum waktu liburan tiba pihak pesantren membuka pendaftaran untuk para santri yang ingin menjadi da’i yang akan di kirimkan ke setiap daerah yang membutuhkan, dengan memberanikan diri, aku mendaftar guna untuk mencari pengalaman.
“ faz, bek treb entreuk di tinggai le moto “, panggil Dedi Virza menyuruh Muhafadh untuk bergegas menuju ke mobil. “ oke jeut, lon kan keneuk rasakan sit suasana uroe woe “, jawab Muhafadh dengan nada tersenyum. Kini kenderaan roda 4 tersebut melaju dengan kencang mengantar para tim NIDA menuju tempat tugasnya masing-masing. Nama Muhafadh Sitohang dan Dedi Virza tercatat bertugas di ujung provinsi Aceh sebelah barat, setelah menempuh perjalanan yang jauh juga melelahkan kini rombongan NIDA telah sampai di pusat kota daerah tersebut, namun hal ini tak seindah yang orang lain bayangkan, setelah sampai di pusat kota , Muhafadh dan Dedi pun beristirahat di sebuah warung guna untuk mengisi ulang tenaga , pemilik warung pun yang melihat mereka berdua kelelahan pun bertanya tentang tujuan yang hendak mereka tuju, setelah mereka menjawab tampak pemilik warung pun berkerut mengingat tempat yang akan mereka tuju termasuk tempat terpelosok di daerah tersebut, dengan menarik nafas dalam-dalam, mereka berdua pun memantapkan niatnya, setelah merasa energi mereka sudah terisi kembali, Muhafadh dan Dedi pun melanjutkan perjalanan yang masih jauh untuk bisa sampai di tujuan yang mereka tuju dengan kondisi jalan yang terjal dan curam.
Setelah 2 jam melewati perjalanan yang bisa dibilang menguji nyali siapapun yang melewatinya, keduanya pun akhirnya sampai, tampak pemandangan yang berada di depan mata mereka jauh lebih berbeda yang mereka pikirkan, begitu mereka sampai terlihat banyak anak kecil didampingi orang tuanya berbaris rapi seakan seperti menyambut mereka, namun dugaan itu benar ketika mereka berdua semakin dengan anak-anak tersebut lalu mereka menyambutnya dengan mengucapkan “ Assalamualaikum, selamat datang pak ustadz “ itulah suara yang terdengar dari mulut mereka, ketika mendengar panggilan tersebut seakan rasa lelah untuk menuju tempat mereka telah terbayarkan, itu sebuah panggilan sederhana yang membuat pendengarnya tersenyum bahagia saat diucapkan oleh para anak-anak polos yang penuh canda, tampaknya koordinator lapangan telah memberi tahu mereka akan kedatangan kami, lalu para anak-anak yang antusias tak sabaran menunggu para ustad muda yang akan mengajari mereka sebulan lamanya.
Setelah bersalaman dengan para masyarakat , akhirnya kami bertemu dengan kepala desa untuk terlebih dahulu mengutarakan program yang akan kami jalankan, kepala desa pun menyambut hangat usulan yang kami berikan, setelah bercerita panjang tentang sudut desa lalu pak kades pun mengantarkan kami ke sebuah tempat penginapan, mungkin ini hanya sebuah tempat sederhana yang tak seindah rumah pejabat negara, hanya sebuah rumah berbentuk kubus dengan diameter 6x10 meter, yang di hiasi dengan atap daun rumbia dan lantai plaster semen biasa, namun setidaknya ini lebih dari cukup untuk kami berdua jika dapat di syukuri atas pemberian tuhan semata.
Tak terasa matahari pun sudah tenggelam menandakan datangnya waktu maghrib, Muhafadh dan Dedi lalu bersegera bersiap-siap untuk menuju mushola, bagai seorang raja, semua mata menatap mereka dengan raut wajah ceria, mereka berdua pun maju di barisan shaf pertama, pak imam dengan sigap memberikan wewenang menjadi imam kepada mereka, Dedi langsung mempersilahkan Muhafadh berhubung suaranya masih serak, Muhafadh dengan gaya khasnya maju untuk menjadi imam, suasana hening pun dimulai ketika shalat mulai dilaksanakan, tampak para jamaah dengan khusyuk mendengarkan bacaan Al-Fatihah Muhafadh, tak ayal karena ia dulu sering memenangkan MTQ cabang tilawah, walau hanya antar kampung, malam pun sudah semakin larut kini tiba saatnya Muhafadh dan Dedi beristirahat untuk bisa melanjutkan episode seru di keesokan harinya.
Di keesokan harinya sesuai dengan apa yang telah mereka rencanakan, kini tiba waktunya mereka memberikan pelajaran bagi anak-anak, mushola yang berukuran 20 x 35 meter kini telah dipenuhi dengan anak-anak dari berbagai umur, ada yang masih berusia 5 tahun sudah diantar oleh ibunya dengan niat agar ia terbiasa mendengar suara pengajian dan ada juga yang sudah berusia belasan tahun dan mereka membaginya menjadi beberapa kelas tergantung dari tingkat kemampuan yang telah mereka kuasai namun ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, mungkin dikarenakan minimnya tenaga pengajar agama, banyak anak-anak di sini yang masih belum mengetahui hal mendasar dari agama, baik itu rukun iman maupun islam, namun ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami sebagai seorang pengajar, bagaimana kami harus bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi, karena hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik ialah ia harus bisa memberikan materi terhadap peserta didiknya semudah mungkin untuk mereka pahami.
Suasana seru baru saja di mulai, Muhafadh dan Dedi dengan penuh perhatian memberikan materi agama terhadap mereka, berdasarkan sedikit pengalaman di dayah di saat ia mengajari murid ulangnya kini mereka berdua sudah mulai bisa berbaur dengan mereka, namun bukan namanya anak-anak jika tidak melakukan hal lucu dan usil, mulai dari mengganggu temannya yang lain, mengejek antar sama lain, bahkan ada yang menjadikan peci kami sebagai bahan lemparan, dan tak jarang nampak Dedi terlihat geram saat mengajari mereka, ya mungkin karena dia tidak terbiasa bermain dengan anak-anak, namun hal tersebut tak menjadi masalah asalkan mereka tetap semangat dalam mengaji.
Suasana belajar tampak ramai, dipenuhi dengan suara para peserta didik yang semangat, salah satu dari mereka berujar bahwa mereka sangat ingin belajar agama secara intensif namun karena minimnya tenaga pengajar agama dan jauh lokasi untuk bisa diraih oleh orang luar membuat niat baik tak kunjung terwujud, makanya di ketika mendengar akan nada tim dai yang bakalan datang ke tempat mereka, seakan ini menjadi jawaban mereka atas doa mereka selama ini. Hari demi hari berlanjut, sekarang mungkin kami sudah bisa menikmati tugas yang sedang kami emban, dan walaupun tak seberapa namun setidaknya sudah ada sedikit perubahan yang dapat kami lakukan di tempat ini, perlahan tapi pasti tampak rasa cinta mengaji sudah tumbuh di hati anak-anak bahkan ada sebagian dari mereka ada yang ingin belajar secara privat karena merasa kurang cukup di pengajian umum.
Semuanya berjalan dengan dengan cepat, hingga hari ini tiba, hari di mana kami harus meninggalkan kenangan dengan anak-anak dan masyarakat yang sudah menganggap kami selayaknya keluarganya sendiri, batas waktu kami telah habis, sudah saatnya Muhafadh dan Dedi untuk kembali ke kediaman masing-masing, tampak guratan sedih terlihat di setiap wajah tetua masyarakat, orang yang selama ini telah bersama dengan kami sebulan lamanya, orang yang telah mengajari kami akan pengalaman hidup mereka yang sangat berarti, kehidupan pahit atas penyesalan seumur hidup karena telah menghabiskan masa muda dalam kelalaian tanpa belajar agama, ini menjadi sebuah hal yang berharga bagi kami generasi ke depan akan bisa menjadi penerus yang bisa memajukan bangsa dan agama.
Terlihat mobil penjemput telah tiba, dengan dikelilingi anak-anak yang seakan tak ingin kami pergi, dengan berat hati kami sudah harus berpisah dengan mereka, dengan anak-anak yang dibuat jengkel oleh sifat nakalnya namun juga bisa di buat rindu oleh sifat canda dan ceria nya. Salah satu dari mereka mendekati kami , ia bernama Indra Rivana, bisa dibilang dia salah seorang anak yang paling berbakat dari yang lainnya, datang menghampiri kami dengan rasa malu-malu, ia mengeluarkan secarik kertas di tangan kiri yang berisikan harapan keinginan mereka juga kesan pesan terhadap kami berdua, lalu sebuah kotak kecil di bungkus kertas kado di tangan kanan yang akan menjadi pengingat terhadap mereka, namun sudah saat kami pergi, sudah saatnya kami melanjutkan perjuangan kami kembali untuk bisa menjadi sosok yang lebih baik dari sekarang.
Di tengah perjalanan pulang, Dedi bertanya kepada Muhafadh tentang apa yang ia rasakan selama bertugas menjadi seorang penda’i , Muhafadh pun dengan tersenyum bercampur haru menjawab “ sebenarnya bukan hal mudah untuk menjadi seorang penda’i apalagi dengan keadaan keterbatasan ilmu yang masih ia miliki, namun di saat ada orang di luar sana yang masih sangat awam akan agama maka kita harus berani menyampaikan ilmu yang sudah kita miliki dengan tanda kutip di bawah bimbingan guru lebih-lebih mereka para anak-anak selaku para generasi penerus maka penting untuk mengenali mereka agama sedini mungkin”.
Dan akhirnya mereka berdua sampai setelah berjuang dengan kelelahan, sembari memberesi barang, Muhafadh pun melihat surat yang diberikan oleh anak-anak, dengan kondisi masih lelah, ia pun membaca surat tersebut yang berisikan “ Assalamualaikum ustadz, pertama sekali Indra mau ngucapin terimakasih buat ustadz Muhafadh dan ustadh Dedi virza yang telah mau bersusah payah mengajari kami, kami kagum sama ustadz berdua yang mau bersabar dalam menghadapi kami, kami janji kedepannya kami juga akan masuk pesantren lalu mengikuti jejak ustadz untuk bisa menjadi orang yang berguna untuk orang lain”, dengan mata yang mulai berkaca-kaca Muhafadh pun sekarang mulai mengerti akan jati diri menjadi seorang santri, walaupun terkadang hanya hidup dengan kesederhanaan jauh dari kata mewah namun setidaknya hidup ini akan jauh lebih berarti disaat ilmu yang sudah kita miliki dapat dibagikan untuk orang lain dan dapat menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama.